Oleh: Uswatun Khasanah, Mahasiswi Akidah dan Filsafat Islam, UIN Walisongo Semarang "Jam keberangkatan telah tiba dan kita menempuh ...
Oleh: Uswatun Khasanah, Mahasiswi Akidah dan Filsafat Islam, UIN Walisongo Semarang
"Jam keberangkatan telah tiba dan kita menempuh jalan
masing-masing; Aku mati dan Kamu hidup. Mana yang lebih vaik? Hanya Tuhan yang
tahu" —Socrates
Tahukah kamu siapa itu Socrates? Seorang filsuf Yunani yang
dijatuhi hukuman mati oleh bangsanya sendiri, pemerintah tiga puluh tiran. Ia
menghabiskan hidupnya untuk berpikir filsafat dan mendiskusikannya praktis
kepada siapa pun yang ditemuinya. Ia tidak mengajar dengan cara biasa dan
konvensional juga tidak mempunyai kelas-kelas formal. Ia semata-mata membuat
pertanyaan demi pertanyaan. Ketika mendapat jawaban atas pertanyaannya itu, ia
bertanya lebih jauh lagi. Sejumlah orang sangat mengaguminya. Kemudian, mereka
menjadi teman dan bergabung dalam diskusi filsafatnya selama bertahun-tahun.
Orang lain berpikir bahwa Socrates ingin menghancurkan gagasan-gagasan lama
tentang agama dengan moralitas dengan cara yang tidak semestinya.
Beberapa anak muda yang dikenalnya dengan baik menjadi penghianat
negara dan memimpin revolusi yang menggulingkan pemerintahan yang demokratis.
Akhirnya, masyarakat Athena bangkit, melawan dan membunuh mereka. Setelah
demokrasi ditegakkan kembali, Socrates dibawa ke pengadilan. Ia dituduh
memperkenalkan dewa-dewa baru kepada rakyat Athena dan telah mencuci otak
anak-anak muda di sana. Namun, Socrates tidak menanggapi tuduhan ini secara
serius dan tidak meminta belas kasihan dari mereka. Kemudian, ia dihukum dengan
dipaksa meminum segelas racun cemara.
Kala itu, banyak orang yang berpikir bahwa hukuman itu tidak adil
karena mengingkari kebebasan orang untuk berbicara. Sementara, sebagian orang
percaya bahwa Socrates memang pantas dihukum mati karena murid-muridnya hampir
saja menghancurkan Athena. Bagaimanapun juga, keberanian dan kebebasannya
selalu dipuji-puji. Semasa hidupnya ia tidak menulis buku sama sekali. Ia bisa
kita kenal sampai sekarang karena murid-muridnya termasuk Plato. Ia menjadi
seorang filsuf besar dan menjadikan Socrates sebagai karakter utama pada hampir
semua bukunya.
Ibarat pohon, jika sudah berbuah maka akan banyak yang tertarik
kepadanya. Mereka menggunakan berbgai cara agar bisa memetiknya, entah itu
dipetik dengan penuh cinta atau dilempari dengan batu. Nah permisalan ini bisa
direalisasikan sebagaimana orang yang melakukan kebaikan. Ketika ada seseorang
yang melakukan kebaikan, kemungkinan besar pasti akan ada banyak orang yang menghalanginya. Mengapa
demikian? Karena manusia tidak pernah tidak punya sifat iri dan curiga.
Socrates merupakan filsuf yang fokus pada gejala sosial di
masyarakat, etika sosial politik kenegaraan dan semua tentang manusia. Dalam
memperjuangkan kehidupan sosial yang baik, ia menggunakan metode dialog.
Tujuannya, bercakap-cakap dengan mendiskusikan berbagai pertanyaan lalu
menghasilkan sebuah jawaban yang mampu menciptakan keharmonisan antar manusia.
Socrates juga berpandangan bahwa setiap individu memiliki potensi mengetahui
kebaikan, kebenaran dan kesalahan.
Kematian Socrates ini bermula dari rasa iri orang-orang karena
popularitasnya. Sama saja dengan sekarang, kepopularitasan masih diburu banyak
orang. Banyak orang bersaing untuk mencapainya. Apapun akan dilakukan demi
membangun maupun mempertahankan itu.
“Aku benar-benar terlalu jujur untuk menjadi politisi dan hidup.” –
Socrates
Menurut kacamata penulis, hidup ini penuh dengan persaingan.
Layaknya dalam dunia politik, strategi dan taktik yang penuh kelicikan selalu
dilibatkan demi pengaruh dan kekuasaan. Perpolitikan sekarang ini hampir sama
ketika era socrates. Politik penuh dengan kebencian, bunuh membunuh sudah biasa
dalam persaingan. Jika ada pepatah “katakanlah yang benar meski pahit
bagimu”, itu hampir tidak bisa
diterapkan dalam dunia politik sekarang. Selain sebagai filsuf, Socrates juga
sebagai politikus yang jujur.
“Takut mati, teman-teman, hanya berpikir bahwa diri kita bijak,
tanpa menjadi bijak: karena berpikir kita tahu apa yang tidak kita ketahui.
Kematian mungkin merupakan kebaikan terbesar yang dapat terjadi: tetapi kita
takut seolah-olah tahu betul bahwa itu adalah kengerian terbesar. Dan apakah
ini bukan cara berpikir bahwa seolah kita tahu apa yang tidak kita ketahui?” –
Socrates
Setelah kita tahu kisah dakwah perjuangan Socrates, apa kita masih
ragu-ragu untuk berbuat baik? Jika apa yang kita sampaikan benar dan rasional
atau dapat diterima akal sehat, mestinya tetap kita perjuangkan meski nyawa
harus kita korbankan. Karena apa? Walaupun kita sudah meninggal, kebenaran yang
telah kita sampaikan akan menjadi penerang yang bisa membawa perubahan menuju
kebaikan bagi generasi berikutnya. Akan tetapi, jika kita tidak menyampaikan
kebenaran, maka yang ada hanyalah ketimpangan. Sampai meninggal pun jika
kebenaran belum juga tersampaikan, maka ketidakbenaran tentang sesuatu perlahan
akan menghancurkan dunia. Oleh karena itu, perjuangkanlah kebenaran.
Wallahua’lam bi al-shawwab
COMMENTS