Abdurrahman Syafrianto Demokrasi kini menjadi sistem pemerintahan yang paling mendominasi di tataran dunia, karena dirasa paling tepa...
Abdurrahman Syafrianto
Demokrasi
kini menjadi sistem pemerintahan yang paling mendominasi di tataran dunia,
karena dirasa paling tepat. Namun, fakta telah memperlihatkan bahwa belum ada
negara yang menerapkan sistem demokrasi secara ideal. Indikatornya, sebagian
besar negara yang menerapkan demokrasi sebagai sistem pemerintahannya musti
berbeda dalam pratiknya. Salah satu contohnya adalah pada pesta demkrasi (baca:
pemilu), ada negara yang menerapkan memlih atau mencoblos dalam pemilu adalah
sebuah kewajiban, ada pula yang pula yang menerapkan bukan sebagai kewajiban,
melainkan hak.
Salah
satu prinsip demokrasi adalah memberikan kebebasan kepada setiap warga negara
untuk bersuara dan menentukan pilihan (right to vote). Hak tersebut merupakan
hak dasar (basic right) setiap individu atau warga negara yang harus dijamin
pemenuhannya oleh Negara. Ketentuan mengenai hal ini, telah diatur dalam Pasal
1 ayat (2), Pasal 2 ayat (1), Pasal 6A (1), Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 22C (1)
UUD 1945. Namun kendati demikian, praktik demokrasi dan sistem pemilu di
berbagai negara tidak sepenuhnya diimplementasi sebagaimana mustinya, bahkan
sebagian bertolak belakang dengan prinsip demokrasi tersebut. Salah satu
contohnya ialah di beberapa negara, anggota militer dan polisi tidak mempunyai
hak pilih. Negara-negara yang menerapkan aturan ini adalah Indonesia dan
Republik Dominik.
Indonesia
adalah salah satu negara yang menerapkan demokrasi sebagai sistem
pemerintahahnnya. Dalam sistem pemilhan umum (pemilu) yang diterapkan, telah
diterangkan bahwa memilih adalah sebuah hak, sebagaimana yang termaktub dalam
Undang-Uandang (UU) Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Pasal 19 ayat (1) bahwa “Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara
telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin
mempunyai hak memilih.” Kemudian ayat (2) “Warga Negara Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) didaftar 1 (satu) kali oleh penyelenggara Pemilu dalam
daftar Pemilih.”
Berangkat
dari sistem pemilu yang diterapkan oleh negara Indonesia, sejarah telah
mencatat bahwa penyelenggaraannya mendapat nilai yang buruk. Sebab, saalah satu
indikatornya adalah setiap kali pemilu, money politik selalu terjadi. Hal ini
disebabkan oleh sistem Pemilu yang tidak relevan dengan kondisi Masyarakat
Indonesia yang tidak semuanya melek terhadap politik, sehingga warga negara
apatis terhadap kondisi perpolitikan di Indonesia.
Sistem
Pemilu menegaskan bahwa memilih adalah hak setiap warga negara. Hak adalah
suatu hal yang tidak musti harus dipenuhi. Dengan begitu, warga negara
Indonesia akan merasa bahwa hak suaranya tidak harus ditunaikan. Momentum ini
yang kemudian dimanfaatkan oleh para elite politik yang memliki kepentingan
untuk memenangkan kandidat yang diusungnya.
Untuk
menghindari terjadinya money politik dalam setiap pemilu, maka sistem yang
selama ini diterapkan perlu dibenahi. Dengan cara, pertama, dalam
pemungutan suara, setiap warga negara yang awalnya memilih adalah sebuah hak
konstitusional, maka perlu diubah menjadi sebuah kewajiban yang harus
ditunaikan. Dengan begitu, suara rakyat tidak mudah dibeli oleh para elite
politik, karena dengan sendirinya warga negara sadar akan kewajiban untuk
memilih, tanpa harus diberi sebuah ‘ongkos’.
Muhammad
Sirajuddin Syamsuddin yang kerap disapa Din Syamsuddin yang pernah menjabat
sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI)
mengatakan bahwa memilih dalam Islam adalah suatu kewajiban, sebagaimana yang
disampaikan oleh ulama-ulama pada umumnya. Kewajiban ini adalah suatu bentuk
untuk meneruskan tradisi profetik.
Memilih
sebagai kewajiban disebut juga dengan compulsory voting atau compulsory
suffrage. Sistem ini pernah diterapkan oleh beberapa negara di dunia, di
antaranya: Negara bagian Georgia di AS, Austria, Belanda, Spanyol, Venezuela,
dan Chile. Dalam sistem ini, bagi warga negara yang tidak menggunakan suaranya
dapat didenda atau dikenakan kerja sosial.
Kedua,
jika dirasa cara pertama belum mampu diterapkan, maka selanjutnya dalam aturan
perudangan-undangan di Indonesia tantang pemilu, perlu ditambah aturan
berkaitan dengan sanksi yang diperuntukan bagi warga negara yang tidak
menggunakan hak suaranya. Dengan begitu, warga negara akan tetap menggunkan hak
suaranya, karena ada konsokuensi berupa sanksi yang akan didapatkan.
Aturan demikian juga pernah diterapkan di negara Australia. Ketika warga negara
di sana tidak menggunakan hak pilihnya, maka akan dikenai hukuman berupa
pencabutan Surat Izin Mengemudi (SIM). Contoh lain, di negara Thailand, jika
warga negara yang memiliki hak pilih terbukti tidak menggunakan haknya, maka
proses data yang menyangkut data kependudukannya akan ditunda hingga dia
menggunakan hak pilihnya di pemilu berikutnya. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Sumber: Militan.co

COMMENTS